Cerpen - Si Lamban - Oleh: Khoirunnisa S. Fajri


Si Lamban
Oleh : Khoerun Nisa S Fajri

            Athaya dan Farah bergandengan tangan menuruni tangga sekolah, hendak menuju kantin.  Beberapa teman lainnya berjalan memimpin di depan.  Farah melepas gandengannya lalu berjalan lebih cepat.  Athaya tertinggal dari yang lain, tetapi tetap berjalan santai.
          “Dasar Lamban! Ayo, lebih cepat, lamban!” Kata Farah.
          “Aku hanya mau mengikuti gaya Sasuke, yang santai.”
          “Dasar Lamban!”
            Beberapa hari kemudian, Farah dan Athaya bermain di kamar Farah. 
          “Thaya, janji padaku, kau tak akan melupakanku.  Aku ingin hati kita selalu bersama walau raga kita berpisah.”
          “Aku janji tidak akan melupakanmu, kau juga harus janji selalu mengingatku, oke?”
          “Aku tidak akan menyuruhmu berjanji jika aku akan melupakanmu.”
***
2 tahun kemudian...
          Athaya menangis memeluk sebuah figura foto.  Athaya menangis mengenang masa lalunya.  Sudah 2 tahun Athaya tidak menemui satupun teman SD-nya.  Dilihatnya foto itu lagi.  Senyuman manis terukir di bibir Athaya.  Air mata terus membasahi pipinya.
          “Besok kita semua akan bertemu.  Aku akan datang dalam reuni tahun ini.  Farah, aku lebih merindukanmu.” Kata Athaya lalu berbaring di kasurnya sambil memeluk foto dirinya bersama teman SD-nya.
          Pagi yang berawan namun cukup cerah.  Athaya berjalan cepat sambil memegangi tas selendang kecil dan handphone.  Athaya diam lalu membuka handphone nya.  Athaya menyadari tali sepatunya lepas dan mengikatnya lagi.  Tidak ada komunikasi antara Farah dan Athaya selama 2 tahun.  Mereka berkomunikasi di grup whatsapp, tak pernah pribadi.  Karena, Athaya tahu, Farah marah kepadanya saat hari terakhir mereka bertemu.
          Di hari itu, Athaya sebenarnya ingin bersama Farah, namun Farah nampak cuek dan dingin.  Membuat Athaya merasa terasing, jadi dia merapat kepada Dilla.  Farah marah dan kesal melihat Athaya bersama yang lain.  Farah mulai tak menganggap Athaya ada sejak itu. 
          Mengingat hal itu, Athaya jadi ragu untuk datang ke reuni dan bertemu Farah.  Apa yang harus kukatakan saat bertemu Farah? ‘Hai Farah, apa kabarmu? Kau mengingatku?’ Tidak, itu memalukan dan kedengaran agresif.  Oke, bersikap biasa saja.  Jangan tegang, jangan agresif, tetap tenang. Batin Athaya nyerocos.  Mencoba menenangkan diri.
          Athaya masuk ke SD nya lalu berjalan ke kantin.  Teman-temannya langsung menyambutnya.  Athaya tersenyum manis.
         “Hai, Athaya! Wah, kau berubah, ya?”
         “Iya, kau berubah! Badanmu lebih kurus, kau sakit apa?”
         “Kau diet apa? Atau kau jarang makan, ya?”
         “Bodoh! Kau memang tak bisa menjaga dirimu dengan baik!”
         Athaya disambut riang.  Sementara, Farah duduk tenang dan memperhatikan mereka yang mengobrol dengan Athaya.  Farah di temani Fani.  Fani juga hanya tersenyum melihat Athaya.
         “Dia memang berubah.  Tapi tubuhnya lebih kurus, kurasa dia jarang makan.  Lihat, kulitnya cukup pucat dan nampak lemas.” Kata Fani.
         “Siapa dia? Aku tidak mengingatnya, bahkan wajahnya nampak asing.” Kata Farah sambil memperhatikan lekuk wajah Athaya.
         “Athaya Ashleyina.  Kau yang memanggilnya Si Lamban, ingat?”
         “Si Lamban ku hanya satu, dia Kansha, teman asramaku.”
         Saat makan-makan, Athaya melihat Farah ke kamar mandi sendiri.  Entah dorongan dari mana, Athaya mengikutinya.  Saat di kamar mandi, Farah berbalik dan menemukan Athaya.
         “Kau mengingatku?”
         “Maaf, aku kehilangan beberapa ingatan.”
         “Kau mengingat yang lainnya, tapi tak mengingatku.  Tega sekali kau! Aku ingin bertanya, apa salahku hingga kau marah padaku dan mengacuhkanku 2 tahun? Apa karena aku bersama Dilla?”
         “Aku tidak mengerti maksudmu.”
          “Bukankah kau yang berjanji tidak akan pernah melupakanku?”
          “Siapa sebenarnya kau?”
          “Aku Athaya Ashleyina, Si Lamban yang menyukai Sasuke.”
          Farah diam.  Senyum kecut tersungging dari bibirnya.  Farah sebenarnya ingat Athaya.  Tidak mungkin dia melupakannya.  Namun kejadian itu telah membuat egonya leluasa menguasai diri.  Athaya kecewa dengan sikap sahabatnya itu.  Air mata sudah membasahi pipinya.  Athaya langsung pergi berjalan cepat.  Farah tetap diam.
          Teman-teman mereka yang lain sedikit terheran melihat Athaya berjalan bergegas, disertai air mata berderai.
Athaya terus berjalan cepat.  Tanpa disadari dia mulai menyeberang jalan.  Athaya hampir jatuh karena tali sepatunya lepas.  Athaya jongkok dan mengikatnya lagi.  Athaya menghapus air matanya.  Tak dihiraukan kanan kiri.  Sampai akhirnya...
          Diiinnn...
          “Brukgh!”
            “Aaahhh...”
          “Athaya!!!” Jerit histeris teman-teman Athaya.  Mereka berhamburan memburu Athaya yang tergeletak.  Darah segar mengucur dari balik jilbabnya.  Farah kaget.  Refleks dia lari menghampiri Athaya.  Memeluknya, erat sekali. 
          “Thaya, Athaya... Kau mendengarku? Hei, bangun!” Suara Farah parau sembari sedikit mengguncang tubuh sahabatnya itu.  Seketika suasana menjadi mencekam  Fani berusaha menelefon ambulans.  Farah membaringkan Athaya di pahanya.
          Seminggu berlalu.  Farah duduk di samping kasur dan memperhatikan gadis yang terbaring lemah dengan oksigen membantunya bernafas.  Perban putih membalut kepalanya.  Farah dengan sabar menunggui gadis itu. 
          “Athaya, ayo cepat bangun, Lamban! Aku akan kembali ke asrama pesantren 6 hari lagi.  Aku ingin melihatmu sadar sebelum ke asrama.  Aku tak percaya dokter, katanya, kau akan koma beberapa hari karena kehabisan darah.”  Kata Farah lembut dan berbisik. 
          Aku bisa mendengarmu, Farah.  Aku ada di mana saat ini? Temani aku! Jangan pergi dulu! Aku ingin membuka mataku, namun rasanya sangat berat.  Dan entah dorongan dari mana, aku ingin terus tertidur karena ada rasa kantuk secara berkelanjutan.  Aku mendengar setiap hal yang terjadi di sekitarku tanpa bisa melihatnya.
          Farah memegang tangan Athaya.  Secara tiba-tiba, Athaya terdengar mengambil nafas panjang dan seperti pengap.  Farah melihat ke arah elektrokardiogram.  Masih normal.  Farah menggenggam erat tangan Athaya.  Butiran bening mulai menetes.  Membelah wajah penuh sesalnya.
          Maaf, aku tidak bermaksud melupakanmu. Aku hanya ingin kau tetap menjadi sahabatku.  Aku menyesal dengan kekonyolan ini. Maafkan, aku telah menjadi teman yang buruk, hingga membuatmu seperti ini.  Maaf, maaf...
          4 hari kemudian, Athaya belum siuman juga.  Farah datang membawa bunga dan menjenguk Athaya seperti biasa.  Di ruangan Athaya, ada keluarga Athaya.  Saat Farah masuk, Farah di sambut hangat.   Mereka menatap Athaya.  Tangan Athaya mulai bergerak.  Farah tersenyum senang.  Athaya membuka matanya dan menerawang ke sekitar.  Farah langsung menggenggam tangan Athaya.
          “Kau sudah siuman? Bagaimana perasaanmu?”
          “Siapa kau?”
          Deg!  
          “Kau tidak mengingatku?”
          Mungkin ini adalah rasa sakit yang dirasakan Athaya saat aku melupakannya.  Kata “Siapa Kau?” sangat menyakitkan jika di dengar.  Mungkin, ini adalah hukuman karena aku telah mengecewakan seorang Athaya.  Aku harus merasakan sakit ini, rasanya memang sakit, tapi cukup menyenangkan sebagai balasan.  Jika aku tidak merasakan ini, aku tidak akan pernah benar-benar merasakan apa yang dia rasakan.  Ambillah hikmah dari peristiwa ini, rasakan apa yang orang lain rasakan.  Teman baikmu selalu terkenang dalam hatimu walau kau hiraukan.  Ingat selalu temanmu.  Ingat selalu kenangan bersamanya.  Karena dia, kamu bisa tertawa saat itu.
***




Biodata Penulis
Khoirunnisa S. Fajri.  Penulis lahir di Bandung 14 tahun silam.  Setelah menyelesaikan sekolah tingkat dasar, penulis kemudian melanjutkan belajar di MTs. Darul Ihsan YUPPI dan sekarang duduk di kelas VIII B.  Selain itu, penulis juga aktif dalam ekstrakurikuler “Klub Menulis” dengan menjabat sebagai Ketua.














Comments

Popular Posts