Cerpen - Sebuah Harapan - Oleh: Nazwa Syaqila


Sebuah Harapan
Oleh, Nazwa Syaqila

Aku memiliki Harapan. Harapan yang sangat ingin kuwujudkan.  Harapan yang hanya bisa dipenuhi oleh mereka.
            Namaku Mia, aku kelas 7. Di sekolah aku mengikuti banyak kegiatan.  Salah satunya adalah kegiatan menari.  Aku sering pulang sampai sore.  Itu membuat aku menjadi orang yang sibuk.  Nenek tinggal bersama kami.  Aku lebih sering menghabiskan waktu bersama nenek.  Mama adalah seorang pengacara dan Papa adalah seorang pengusaha besar.  Mereka sangat sibuk mengurus pekerjaan mereka.
            Dirumah aku selalu bermain dengan kucing kesayanganku.  Dia memiliki bulu yang halus dan tebal sehingga nyaman untuk dipeluk.  Kalau tidak ada latihan menari, aku biasanya diam dirumah.  Membaca novel, nonton televise atau mengerjakan tugas sekolah.
            “Kring.....Kring......Kring....”  Alarm dari handphone-ku berbunyi.
            Waktu sudah menandakan pukul 04.30 WIB, aku segera beranjak dari tempat tidur dan segera berwudhu untuk menunaikan sholat Subuh.  Selesai sholat, aku membereskan kamar lalu mempersiapkan segala keperluan sekolah.  Setelah selesai mandi, aku langsung menuju meja makan. Aku duduk di kursi, mengambil roti dan mengolesinya dengan selai cokelat kesukaanku.  Aku melihat Mama dan Papa sudah rapi.  Mereka duduk berdampingan tapi tidak bertegur sapa.   mereka asyik menatap layar ponselnya masing-masing.  Seolah tak peduli dengan keberadaanku.  Hening.   Hal yang selalu berulang setiap harinya.
“Jangan terlambat ya sayang ke sekolahnya.  Maaf, mama dan papa nggak bisa mengantar kamu ke sekolah.   Kami harus mengurus tugas-tuga di kantor,ujar mama memecah keheningan.  Dia lalu menympian ponselnya dan mengambil sehelai roti untuknya sarapan.
             “Oh, baiklah.” Jawabku singkat.
            Seperti biasa, aku berangkat sekolah diantar oleh Pak Danu, supir pribadi keluarga kami.  Aku melihat dari jendela mobil, banyak anak-anak yang diantarkan oleh orang tuanya ke sekolah. Aku menghembuskan nafas, mungkin lain waktu.” Gumamku dalam hati.
            Tidak terasa, aku sudah sampai di depan gerbang sekolah.  Aku segera turun dari mobil.  Aku berjalan sampai kedalam kelasku.  Aku meletakkan tasku di atas meja. 
“Hai Mia.... apa kabar?” tanya Fira.  Dia adalah sahabatku.  Dia ceria dan juga cerewet.  Dia juga teman les menariku.
“Aku baik-baik saja,” jawabku pendek. 
“Oh ya, apakah kamu tahu bahwa nanti akan ada lomba menari tingkat provinsi untuk memperingati hari anak sedunia?” lanjut Fira.
 “Aku tidak tahu, memang nya kapan?” tanya ku. 
Bulan depan.  Kata Bu Anna, kita sudah didaftarkan untuk ikut lomba itu dan orangtua kita harus hadir untuk melihat penampilan kita.” jawab Fira berpanjang lebar. 
“Oh begitu ya...” aku berpikir sejenak.  Mungkinkah mama dan papa bisa hadir?
            Bel pelajaran berbunyi, murid-murid segera mempersiapkan buku pelajaran.  Yang pertama adalah pelajaran Bahasa Sastra, pelajaran kesukaanku. 
Selesai sekolah, aku dan teman-teman les tari berkumpul untuk berbincang-bincang, tari apa yang akan diperlombakan nanti. 
             Aku pulang lebih lama dari biasanya.  Ada latihan tambahan untuk persiapan lomba nanti.  Aku melihat nenek sedang memasak untuk makan malam.  Aku segera mengganti pakaian ku dan membantu nenek di dapur.
            “Kamu kemana saja Mia, jam segini baru pulang?” tanya nenek dengan rasa cemas. 
Ada latihan tambahan, Nek, jadi aku pulang agak lama karena nanti akan ada lomba tari  tingkat provinsi untuk memperingati hari anak sedunia.” Jawabku menjelaskan.
            “Oh bagus dong, kapan?” tanya nenek lagi. 
Bulan depan,”  jawabku pendek tanpa menoleh ke arah nenek.  Aku fokus pada wortel yang sedang kupotong.
“Nek?”
“Ya?”
“Nanti nenek bisa hadir ngga pada saat aku lomba?”
“Kenapa harus nenek, kan ada orangtua kamu?”
“Ah, nenek.  Kayak yang ngga tau aja mama dan papa.  Mereka itu ngga ada waktu buat aku.  Sekarang aja belum pulang.”  Ucapku cemberut.  Nenek tersenyum melihat polahku.
“Coba aja kamu bilang dulu sama mama dan papamu.”
“Males ah..”
            Tak lama kemudian terdengan deru mobil dari luar.  Rupanya mama sudah pulang.  Lima menit berselang mobil papa masuk garasi.  Aku dan nenek sudah siap di meja makan.
 “Selamat malam semua,”  mama menyapa kami. 
                 “Wah, kayaknya enak nih makan malamnya.”  Susul papa.
            “Iya dong, Mia masak sayur sop jamur nih.”  Jawab nenek sambil tersenyum ke arahku.  Mama dan papa langsung bergabung bersama kami.  Nenek memberi kode supaya aku bicara tentang lomba tari.  Aku coba memberanikan diri.
            “Papa, Mama nanti aku akan mengikuti lomba tari  untuk memperingati hari anak sedunia bulan depan”.
“Bagus,” kata papa sambil menyuap nasi sesendok penuh.
“Tapi orang tua harus hadir untuk melihat anaknya tampil,” lanjutku.
 “Tapi Mia....Mama dan Papa sibuk bulan depan itu,” jawab mama.
            “Tapi aku mau papa dan mama dating!” aku merasa kesal.  Cepat-cepat aku menghabiskan makananku.  Langsung aku masuk ke kamar dan membanting pintu .  “Kapan mama dan papa punya waktu buatku.”  Gerutu batinku.

***

Tidak terasa hari itu pun tiba, segera aku dan teman-teman ku berangkat ke Gedung yang berada di Bandung untuk mengikuti lomba itu.  Aku dan teman-teman sudah mempersiapkan pakaian dan tariannya.
“Semoga kita juara!” kata Fira.
“Aamiin.”  Jawabku.
Di sana kelompokku mendapat nomor urut ke-27 dari ratusan kelompok.  Kelompok pertama menampilkan Tari Kecak dan Kelompok selanjutnya Tari yang berbeda.  Di balik panggung kelompokku berlatih, agar di atas panggung lebih kompak. 
            Akhirnya tibalah giliran kelompokku.  “AYO... semangat.....” Teriak teman-teman sambil menumpuk telapak tangan dan mengangkatnya ke atas.   Langsung kami naik ke atas panggung. Aku melihat ke arah barisan kursi penonton mencari, “Apakah mama dan papa datang?” kata batinku.  Ternyata tidak ada, sampai akhirnya aku tidak fokus, selalu melihat barisan kursi penonton.  “Apakah akan datang? apakah akan datang? apakah akan datang?” hatiku selalu bertanya.  Dan akhirnya sampai aku selesai tampil, tetap orang tuaku tidak datang.  Pengumuman untuk kelompok yang menang akan diberitahukan kepada pembimbingnya masing-masing.  Setelah itu kami menonton kelompok yang lain tampil.  Sampai pukul 17.00 WIB kami pulang dari Gedung itu ke rumah masing-masing.
            Aku pulang dengan rasa kecewa di dada.  Aku melihat ke dalam rumah, ternyata tidak ada siapa-siapa.  Aku baru ingat nenek sedang pergi ke Jepang, sedangkan aku dirumah sendiri.  Aku ingin sekali jalan-jalan mengelilingi dunia.  Namun harapan itu belum juga tercapai.  Saat aku masih berumur 10 tahun, aku pernah mengajak mama dan papa untuk jalan-jalan. Tapi jawabannya selalu sama, sibuk.
                                                                                ***
            Saat aku sedang makan malam,  mama dan papa pulang.  Aku segera masuk ke kamar tanpa menghabiskan makan malamku. 
“Papa itu gimana anak kita? Dia selalu marah dan kecewa kepada kita.  Sebagai orang tuanya kita seharusnya memberikan waktu luang untuk dia. Kita belum pernah memberikan waktu untuk anak kita sendiri pa...” ucap mama.
“Iya juga ma, tapi kita harus gimana?” tanya papa.
            bagaimana kalau kita ajak Mia liburan ke Jepang.  Kebetulan Ibu lagi ada disana.”  ucap mama lagi. 
“Bener juga ma.  Ok kalau begitu kita akan pergi besok, kita lupakan pekerjaan.” ujar papa.
“Kita akan membuat kejutan!” seru mama.
            Besoknya aku dibangunkan oleh mama dan papa.
"Pagi pagi sekali mama papa, ada apa?"  mama tersenyum dan menyuruh aku segera bersiap-siap katanya kami akan ke bandara untuk berlibur.  Di situ aku merasa senang, kaget, heran, semuanya campur aduk.  Aku semangat sekali. Aku berangkat dengan mama dan papaApakah ini mimpi?
            Akhirnya kami tiba di Jepang.  Disana aku senang bisa berlibur dengan kedua orangtuaku.  Banyak kebersamaan di sana.  Aku mengelilingi banyak tempat wisata di sana.  Setelah dua hari aku di sana, aku mendapat info bahwa kelompok tariku mendapat juara ke-1.  Lengkaplah sudah kebahagiaanku. 
“Wah.... minggu ini adalah yang terbaik dalam hidupku, kata dalam hatiku.  Semuanya bergembira.  Tidak ada pekerjaan, tidak ada tugas, tidak ada yang asyik sendiri, semua lupa dengan itu.  Semuanya bergembira bersama.  Itulah harapan yang kutunggu dari mereka, orangtuaku.


-          Tamat -










                                                                          Biodata Penulis
Nazwa Syaqila.  Penulis lahir di Bandung, 5 Juni 2005.  Penulis adalah alumni SDN Karang Setra dan melanjutkan sekolahnya ke MTs Darul Ihsan YUPPI.  Sekarang penulis tercatat sebagai siswa di kelas VIII A.  Gemar menulis sejak mengikuti ekstrakurikuler “Klub Menulis” juga terinspirasi oleh novel-novel yang telah dibacanya.

Comments

Popular Posts