Cerpen - Overdosis - Oleh: Mashwa Hanifah


Overdosis
Oleh: Mashwa Hanifah
          "Darr...!" teriak Bu Sely saat kami sedang berswafoto di kelas. Itu membuat kami semua kaget. Lucunya, saat kulihat hasil foto kami, kami memasang ekspresi kaget, itu membuatku tertawa.
"Kalian... ketauan bawa handphone, gak dititipin ke wali kelas. Sini! ibu rampas, kalau gak dikasih ke ibu, nilai kalian..." Trakk...! Bu Sely mematahkan penggaris kayu yang ia pegang, mengisyaratkan bahwa nilai kami akan dikurangi. Kami pun memberikan handphone kami dengan pasrah dan terpaksa. Setelah Bu Sely mengambil semua handphone kami, Bu Sely memelototi kami dengan dengan bulu mata yang cetar.
"Apa liat-liat?! Cantik!?" tanya Bu Sely.  Salah satu teman kami ada yang "mungkin" mual saat Bu Sely menanyakan hal itu.
          Halo... namaku Ajiwa Sejahtera, atau bisa di panggil Jiwa. Kata ibuku itu nama terbaik, namun menurut teman-temanku itu adalah sebuah hinaan. Jika guru melihat aku tidak hadir di sekolah, guru selalu menanyakan, "Jiwa sakit?" dan temanku, Zahra selalu menjawab, "Alhamdulillah, dia masih waras," sungguh menjengkelkan. Tak apa, nama adalah sebuah do'a, mungkin ibuku ingin jiwaku selalu sejahtera, aku juga gak tau sih. Udah lah lupain aja.
Aku itu termasuk golongan yang famous di sekolah, ekhem, karena sosial mediaku yang memiliki banyak pengikut.         Akun Instagram aku, @jiwaaa.s memiliki 48 ribu followers. Sedangkan akun Facebook memiliki lebih dari 4 ribu teman.  Setiap aku posting foto atau video di Instagram atau Facebook, pasti 2 menit kemudian notifikasi handphone-ku berbunyi. Aku juga punya temen sebangku yang menurutku dia selalu membuatku kesal, namanya Zahra. Nama aslinya sebanarnya Khoerun Salsabila Jannah, tapi entah kenapa suka di panggil Zahra sama temen-temen yang lain, aneh.  Dia adalah teman yang menerima aku apa adanya, walaupun aku sering memarahinya.
            "Berita heboh!!" teriak ketua kelas dengan terburu-buru.
"Kenapa?" tanya Zahra.
"Bu Sely bakal rampas hp kita selama seminggu!" ucap ketua kelas dengan lantang.
 "Apa!?" teriak seluruh siswa dengan serentak. Ekspresi mereka bermacam-macam setelah mendengar hal tersebut.  Ada yang biasa saja karena mungkin dia gak kena razia, ada yang nangis-nangis ke temannya, ada yang diam dipojokan kelas sambil garuk-garuk tembok, bahkan ada yang nari-nari depan kelas sama pel yang dibalikin, mungkin saking sedihnya sampai sakit jiwa gitu ya.  Aku terpana dengan berita itu.  Apakah bisa aku hidup tanpa hp?
Bel pulang berbunyi.  Aku dan semua siswa pun pulang. Saat aku sampai di rumah, ibuku bertanya dengan rasa kebingungan, "Eh? tumben mulus? biasanya suka kejeduk pintu gara-gara fokus hp. Hpnya mana?" selidik ibu.
"Hpku dirampas Bu Sely.  Jadi mungkin 1 minggu ini aku hanya menghabiskan waktuku di ruang belajar." aku pun pergi meninggalkan ibu lalu masuk ke kamarku.
          1 minggu kemudian.  Saat pulang sekolah. "Horeeee!!!" teriak semua teman-temanku saat handphone mereka sudah kembali ke tangan masing-masing. Aku berswafoto dengan Zahra, Idela, dan Shania. Lalu setelah itu aku upload di Facebook. Saat sudah terposting, aku meninggalkan hpku untuk beberapa jam.  Setelah 8 jam aku tinggalkan hp ku, aku memperoleh 334 like, 60 super, dan 200 comments.  Itu membuatku cukup bahagia, komentar yang kudapat juga baik semua.  Entah kenapa aku sangat terobsesi dengan sosial mediaku. Di grup WhatsApp kelasku, "Class 7G-elo"
Karbila : "Hari kamis jgn lupa yaaaa.."
Zahra : "Kalo lupa tinggalin aja, wkwk"
Idela : "Kamis ada apaya? :v"
Shania : "Kamis, dinosaurus idup lagi:v"
Karbila : "Study tour.... ke jogja yeee"
Ajiwa : "Alay lu:v @Karbila"
Karbila : "Kuma aku w_- dasar sakit jiwa!!"
Ajiwa : "Dasar alay:v"
          Hari kamis pun tiba.  Semua anak-anak bergembira karena hari ini kami akan study tour ke Yogyakarta.  Mereka datang ke sekolah jam 04.02 WIB.  Mereka mengawalinya dengan shalat Shubuh. Namun hari ini aku tidak shalat, mungkin sebagian dari kalian tau kenapa. Aku melihat ada 2 anak laki-laki yang tidak ikut shalat Shubuh, mereka malah makan dan minum di depan masjid.  Hatiku menggerakan kakiku untuk menghampiri kedua laki-laki itu.
"Kenapa kalian gak ikut shalat?! Halangan!?" tanyaku nyinyir. Kedua anak laki-laki itu melihat ke arahku, ternyata aku mengenali mereka.  Mereka adalah Fachrul dan Aji.  Mereka memang sangat nakal di kelasku. Mereka juga sering bertengkar dengan perempuan hanya karena hal kecil bahkan hal yang tidak berguna.
"Lah, kamu sendiri?" tanya Aji sambil mengunyah makanannya.
"Kunyah dulu makanannya, baru ngomong. Aku gak shalat gara-gara halangan.  Kalian halangan?" tanyaku pada mereka berdua.
"Jika perempuan punya halangan, maka laki-laki pun pasti ada halangan lah." Jawab Fachrul enteng.
"Oh, begitu? jika kalian memiliki halangan untuk shalat, maka bersiap-siaplah untuk melahirkan seorang anak," jawabku dengan nada yang santai.  Aku pergi meninggalkan mereka berdua dengan senyum kemenangan.  Aji yang tadinya sedang minum tiba-tiba menyemburkan minumannya saat aku berkata itu.  Mereka terdiam.  Tak lama setelah itu, mereka  berwudhu.  
          Setelah shalat shubuh, kami langsung naik ke bus.  Aku kebagian bus 3, bersama dengan teman-temanku kelas 7G dan 7H.  Kami semua mengeluarkan hp, begitu hpku dikeluarkan, aku langsung membuka kamera, tidak lain adalah untuk selfie dengan teman satu kursi, Zahra dan Shania.  Aku juga mengajak Karbila, Idela, dan Najwa karena mereka ada di belakang kursiku. Aku memperkirakan akan cukup lama untuk sampai di Yogyakarta, dan kemungkinan malam hari baru sampai.  
Di perjalanan, aku melihat beberapa temanku sedang tidur.  Hal itu merangsang  aku untuk mengeluarkan kejahilanku.  Aku mengambil gambar temanku yaitu Aji dan Fachrul yang sedang tertidur dengan mimik yang lucu.  Kembali aku tersenyum menang.
Hampir 14 jam di perjalanan, akhirnya kami sampai di Yogyakarta, kata guru-guru, perjalanan sangat macet.  Kami langsung menuju ke penginapan. 
Keesokan harinya kemi mengunjungi candi Borobudur.  Banyak foto yang sudah aku ambil, bahkan lebih dari 100 foto.  Aku juga sudah membuat snapgram yang banyak.  Setelah itu kami mengunjungi pantai Parangtritis, dan terakhir Malioboro.  Kami lelah, jadi kami semua kembali ke penginapan.  Kami kompak menuju toilet penginapan untuk baung air kecil.
Tiba-tiba Karbila berteriak saat ia keluar dari toilet penginapan itu, "Waaahhh!!!"
Hal itu membuat kami kaget dan bingung, "Bil, kamu kenapa?" tanya Shania.
"Pas aku lagi baung air keci, ada yang nyolek." jawab Karbila dengan nada ketakutan.
"Hah? nyolek?" tanyaku, terheran dengan kata-kata Karbila.  Begitupun teman-temanku yang lain.  Tiba-tiba...
 "Eh... mbak nya kok ada di sini? ini ndak bole ditempatin... ada tuyulnya lho..." kata salah satu petugas penginapan menakuti kami.
"AAAAHHHH!!!!" kami kaget dan kami langsung pergi dari tempat itu.  Benar saja, kami memang salah masuk.  Yang kami masuki adalah toilet pria.  Mungkin karena terlalu lelah, kami sampai tidak fokus. Pada pukul 21.13 WIB, kami tidur.
            Hari kedua di Yogyakarta sekaligus hari terakhir study tour kami.  Pagi-pagi aku mendapat DM dari sepupuku Diana yang tinggal di Bogor.  Dia berkata, "sg udah titik titik, udh kea kode morse aja, itu mungkin bisa artinya "hidup gua lebih bahagia daripada lu" mentang-mentang lagi Yogyakarta_-" hal itu membuatku tertawa di pagi hari.  Selesai sholat Shubuh, kami langsung pulang. Hhmm... padahal aku masih betah di sini. Kami pun akhirnya meninggalkan Yogyakarta.  
Seharian penuh kami di perjalanan akhirnya aku sampai di rumah.  Aku masuk ke rumah, dan membaringkan tubuhku di kasurku. Aku sangat lelah, dengan perjalanan yang begitu panjang dan lama.  Setelah lelahku sedikit hilang, aku posting fotoku yang berada di Yogyakarta ke Facebook dan Instagram.  Kutulis caption, "Thanks Yogyakarta ... I'm very happy 🌺💘" Aku simpan hpku untuk beberapa jam. Heemm... aku berencana untuk membagikan momen itu pada dunia, jadi aku ubah pemirsanya menjadi publik, agar semua orang bisa melihatnya, bukan hanya temanku saja.
          8 jam kemudian, aku merasa aneh.  Ada yang beda dari apa yang biasanya terjadi.  Aku hanya mendapat 54 like di Facebook, dan hanya 40 love di Instagram.  Biasanya aku mendapat lebih dari 200 like di sosial mediaku. Aku mengecek semuanya, apakah fotonya kurang Bagus? atau caption-nya kurang bagus? semua aku cek, tidak ada yang salah, malah aku mempublikasikannya lebih luas.  
Seketika aku mulai stress, depresi, dan aku sangat sedih. Apakah orang-orang di sosial mediaku sudah membenciku? Aku jadi tidak mood  untuk bermain Facebook dan Instagram. Sekarang aku benar-benar depresi, di benakku selalu muncul pertanyaan, "Apakah orang-orang sudah mulai membenciku di sosmed?"
Esok hari, aku datang ke sekolah dengan wajah yang murung.  Orang-orang di sekitarku melihatku dengan aneh, mungkin merekalah yang membenciku.
"Kamu kenapa? gak kaya biasanya?" tanya Zahra padaku,
"Enggak..." jawabku dengan nada yang lemas.
Di saat pelajaran berlangsung, aku sangat tidak focus.  Aku benar-benar depresi dengan kejadian kemarin.
"Ajiwa, perhatikan saya bisa gak?! dari tadi kerjaannya cuma nutupin kepala doang!" kata bu Nina, guru matematika yang memintaku untuk memperhatikan materi yang sedang ia terangkan.  Namun aku tidak peduli dengan kata-kata Bu Nina.  Bu Nina lalu segera menghampiriku dan membuka tanganku yang menutup kepalaku.
"Bisa konsentrasi gak sih?!?! kalo gak bisa, mending di luar!!"  ujar Bu Nina padaku, suaranya lebih lantang dari sebelumnya.  Aku kesal, lalu aku keluar dari kelas.  Tanpa menghiraukan Bu Nina.  Semua temanku melihat ke arahku dengan tatapan aneh.  Aku tidak marah.  Aku juga tidak bahagia, lalu sekarang apa yang bisa mencerminkan perasaanku hari ini? Perasaanku sudah kosong, seperti tubuh tak bernyawa. Apa sekarang aku gila? Semua orang mulai menjauhiku.  Aku menyendiri. Aku menyadari, ini terlalu toxic1)!
Akhirnya aku berkonsultasi pada seorang psikiater.  Psikiater itu bernama Gifani Chantika.  Ia meminta aku untuk memanggilnya ‘kakak’ karena ia masih muda.  Aku mengeluh pada Kak Gifani karena aku depresi hanya karenasosial media.
“Apa kau suka bermainsosial media?” Tanya Kak Gifani.
“Iya, aku sangat aktif disosial media.” Jawabku pada Kak Gifani.
“Aku ingin bercerita tentang persamaan sosial media dan narkoba.” Kata Kak Gifani. “Hah?Sosial media? Narkoba? Apa hubungannya?” gumam batinku dengan sangat bingung.
 “Jika kamu berharap mendapat like yang banyak, dan kamu memaksakannya, maka sama saja kamu mengkonsumsi narkoba. Jika kamu mendapat banyak like, lalu kamu senang, hormon dopamin yang ada di syaraf otakmu akan keluar, mengeluarkan efek bahagia, dan kamu ingin bahagia, bahagia, dan bahagia lagi. Sedangkan narkoba, jika kamu konsumsi secara berlebihan, hormondopaminmu akan keluar dengan paksa, makanya orang-orang yang mengkonsumsi narkoba selalu bahagia. Kamu menggunakansosial media terlalu berlebihan.  Jangan di biasakan, sekali kamu seperti ini, itu pasti membuatmu depresi berat sampai tidak ocia pada pelajaran.” Kak Gifani memberikan penjelasan panjang lebar.  Aku tertegun dibuatnya.
“Kakak benar, aku memakaisosial media dengan berlebihan, maafkan aku.” Aku meminta maaf pada Kak Gifani.
“Kalo masalah like menurun, kenapa kamu gak positif thinking duluan?  Memang jika kamu ubah pemirsanya menjadi publik, akan banyak orang yang akan melihatnya?  Tidak juga.” Kata Kak Gifani seraya menabarkan senyum manisnya.
“Oh begitu, aku tidak tau soal itu.”  Ucapku sambil tersipu.
          “Jadi apa solusi nya, Kak?” tanyaku pada Kak Gifani.
“Sebaiknya kamu hapus semua akun ocial mediamu. Kenapa? Aku sarankan kamu untuk bersosialisasi tanpa handphone atau ocial media. Cobalah, feel so good… indahnya berinteraksi tanpa hp.” Saran Kak Gifani padaku.
            “Oh gitu ya.  Baiklah kalau itu saran Kakak, saya akan coba lakukan.” 
            “Ok, good luck.”  Ucap Kak Gifani.
            “terimakasih banyak ya, Kak.”  Ujarku sambil memeluk erat Kak Gifani.  Perasaanku sedikit lega sekarang.  Aku pun pulang ke rumah.
Keesokan harinya, “Apa?! Aku gak percaya ini!” kata Zahra dengan suara yang lantang.
“Ada apa?”  Tanya Shania.
“Kamu hapus akun Facebook sama Instagram kamu?!” Tanya Zahra lagi sambil menujukku.
“Iya. Aku mencoba untuk bersosialisasi tanpasosial media.  Narkoba mana yang ingin menjatuhkan jiwaku yang sejahtera ini?” jawabku sambil berlalu meninggalkan kelas.  Tak kuhiraukan kedua temanku yang masih menganga.  Aku sadar, apa bedanya jika kita memakai sosial media secara berlebihan dengan kita menggunakan narkoba secara berlebihan.  Kedua hal itu sama-sama akan membuat hidup kita toxic.

Ajiwa Sejahtera, yang dibesarkan lewat sosial media, akhirnya berubah menjadi orang tanpa sosial media.
-tamat.
 1) toxic = mengandung racun




Biodata Penulis
Mashwa Hanifah.  Penulis lahir di Cimahi, 27 Oktober 2004.  Bersekolah di MTs. Darul Ihsan YUPPI dan sekarang duduk di kelas VIII B.  Tinggal di Sanggar Indah Banjaran blok JK no. 6.  Gemar menulis sejak kelas I sekolah dasar dan mulai menulis novel/cerpen sejak kelas IV sampai sekarang.

Comments

Popular Posts