Khilaf

Khilaf
Oleh: Rifdah Dhiyatul Hak


Hari ini mentari begitu cerah memancar keseluruh penjuru kamarku.  Sebuah hal yang selalu membuatku semakin semangat mengawali hari.  Tak sabar rasanya ingin cepat sampai di sekolah.  Semua sudah kusiapkan dengan matang, sematang mangga arum manis yang siap panen.  Buku, pensil serta buku-buku telah tertata rapi di dalam tas.  Aku turun setelah menyelesaikan ritual pagi yang biasa kulakukan.
"Assalamualaikum, Mi...Bi..."  sapaku kepada ummi dan abi yang telah siap di meja makan.
"Wa'alaikumussalam nak, sini sarapan,"  ajak ummi seraya melambaikan tangannya ke arahku.
"Nggak ah Mi, Dira takut kesiangan, nanti aja di sekolah,"  jawabku sembari menyalami ummi dan abi.
"Dira berangkat ya, Assalamualaikum."                                           
"Waalaikumussalam warohmatulloh,"  balas ummi dan abi hampir bersamaan.
    Aku mematung di pinggir jalan, menunggu angkot yang akan membawaku ke sekolah.  Tapi nihil.  Tak ada satupun angkot yang lewat.  Tengok kiri, tengok kanan.  Sepi.  Ke mana gerangan angkot-angkot itu.  Tidak seperti biasanya seperti ini. 
Terlambat lagi deh nih...”  batinku.  Daripada menunggu lebih lama, takut keburu lumutan, kurogoh benda pipih di kantong rok seragamku.  Aku mencari nomor abi, siapa tau abi belum berangkat.  Tapi nahas, abi telah berangkat ke kantor.
            Akhirnya kuputuskan untuk memesan ojek online saja.  Berselang lima menit, ojek yang dipesan datang.  Akupun meluncur menuju sekolah.
               
Tiba-tiba di tengah perjalanan...
Ana uhibbuka fillah...kumencintaimu karena Alloh
Benda pintar milikku bergetar, mengeluarkan suara nada dering yang telah ku setting dengan sedemikian rupa.  Kulihat nama yang ditampilkan oleh ponselku "cAcA BAWEL".
“Kalo kayak gini bisa tandas aku dimakan omelan caca,”  batinku lagi.
"Hallo, assalamualaikum..."
"Waalaikumussalam...Nadira kamu dimana sih...ini udah mau masuk!"  Suara cempreng khas Caca nyerocos di seberang sana.
"Aku lagi di jalan, bentar lagi nyampe."
Hari ini benar-benar hari yang mengecewakan.  Akhirnya aku sampai juga di depan gerbang yang berdiri tidak terlalu tinggi.  Baru satu langkah kaki kugerakkan melewati gerbang, bel masuk berbunyi.  Dengan refleks, aku berlari menyusuri koridor sekolah.  Beruntung guru killer belum datang ke kelas.
***
Tingggg....Tingggg..
Bel tanda istirahat telah berbunyi.  Semua siswa keluar dari kelas untuk membeli pengisi perut.  Kuhempaskan tubuh ke kursi yang berada di kantin.  Sampai akhirnya...
drrreeerrt...
"Dira, kayaknya ada pesan yang masuk..." ucap Caca sambil melihat ke arah ponsel yang tergeletak di sampingku.
"Iya deh kayaknya, bentar aku liat dulu yah."
Tanpa aba-aba aku langsung membuka isi pesan whatsapp tersebut.  Dahiku sedikit mengernyit.  Nomor yang mengirim pesan itu tidak ada dalam daftar kontak di ponselku. Isi pesannya seperti ini,
Assalamualaikum..
Kamu Nadira ya?  Kamu di kelas apa?
            “Ini siapa sih?  Sok kenal banget!”  Ucapku dalam hati.  Kulihat foto profilnya.  Seorang laki-laki yang sedang duduk bergaya di atas motor matic.  Wajahnya seperti pernah kulihat, tapi siapa. 

"Ini siapa sih, kamu kenal gak?"  Tanyaku sambil menyodorkan ponsel ku kedepan wajah Caca.
"Ouh itu, itu mah anak baru dikelas delapan B.  Kamu gak tau emang?"
"Nggak."  Ucapku enteng tanpa beban
***

Tiiiinggg.... tiiiiinggg
Bel tanda berakhir jam belajar berbunyi.  Suara yang sangat ditunggu oleh semua siswa.  Seiring dengan itu, para siswa berhamburan dari kelasnya masing-masing.  Bagaikan beras tumpah dari toples.  Ada yang segera menuju kendaraannya.  Ada yang mampir ke kantin untuk menghabiskan uang jajannya.  Ada yang duduk-duduk di bawah pohon mangga yang tumbuh di pojok sekolah sambil sibuk dengan ponsel masing.  Ada juga yang langsung menuju pinggir jalan dan naik angkot yang akan membawa mereka ke rumah masing-masing, seperti yang kulakukan sekarang.
                Lima belas menit berselang, angkot berhenti.  “Alhamdulillah, udah sampai,”  ucapku dalam hati.  Aku berjalan kemudian mengetuk pintu sembari mengucap salam,
"Assalamualaikum, Ummi...Dira pulang!"  Teriakanku menggema di seluruh penjuru dunia, eh maksudnya penjuru rumahku. hehehe..
"Waalaikumussalam,"  sahut ummi.  Rupanya ummi sedang berada di dapur.
Aku berjalan ke arah kamarku berada.  Sesampainya aku di dalam kamar, aku langsung melemparkan tasku ke atas tempat tidurAku membuka ponsel sembari berbaring, aku terkejut ketika melihat ada sebuah pesan whatsapp.  Lagi-lagi dari nomor yang sama dengan yang tadi mengirim pesan di sekolah.  Aku penasaran siapakah gerangan yang berani mengirimkan pesan kepada seorang Nadira.  Kulihat nama di profilnya.  Alan Zufar.
“Assalamualaikum, boleh nanya gak?”
“Wa'alaikumussalam, kalau tidak penting, lebih baik nggak usah.”
Aku sangat penasaran siapa Alan itu.  Dari mana dia tahu nomor ponselku.  Aku hanyut dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benakku.  Tak lama berselang,
Drrt drrt...
Aku raih poselku, pesan dari Alan lagi.
“Huh, dia lagi, dia lagi!”  kali ini batinku mendecak kesal.
Berkali-kali pesan dari Alan masuk.  Dia bertanya di mana sekolahku, bertanya kelasku, bertanya alamat rumahku, bak polisi sedang menginterogasi seorang penjahat.  Dia tanya ini, tanya itu.  Kujawab seadanya. 
Hari berganti, Alan jadi sering memberiku pesan.  Dia selalu menemaniku saat jenuh mengerjakan tumpukan tugas.  Ia suka bertanya, sudah makan atau belum, atau sekarang lagi ngapain.    Kini aku tidak merasa terganggu lagi dengan pesan-pesannya, malah berbalik menjadi merindukan pesan-pesannya.  Ada sebuah kenyamanan yang kurasakan.  Jujur, wajah tampannya telah meluluhkan egoku.  Hingga suatu saat ia memintaku untuk menunggu di depan gerbang sepulang sekolah.  Setelah suasana agak sepi, Alan mengutarakan kalau ia menyukaiku.  Ia ingin aku menjadi pacarnya.  Hatiku berdebar.   Aku ragu menjawabnya.  Ummi pernah berpesan kalau aku tidak boleh pacaran.  Tapi, aku juga menyukai Alan.  Aduh, bagaimana ini?  Sejenak aku terpaku.
            “Gimana Nadira?”  Tanya Alan membuyarkan lamunanku.
            “Ya, aku mau,”  setengah sadar aku refleks menjawab pertanyaan Alan.
            “Yes!”  Alan berteriak sambil mengepalkan tangannya ke udara.
Hari demi hari kulewati dengan senyum keceriaan.  Kini aku dan Alan resmi pacaran.  Aku merahasiakan hubunganku ini dari Ummi.  Jangan sampai Ummi tahu kalau aku pacaran.  Ummi pasti marah besar.  Hingga suatu hari, sebuah pesan whatsapp dari teman sekelasku, Riana, masuk ke ponselku.
“Dir, dia nge-chat aku, aku harus gimana.  Aku malu...aku gak pernah chattingan sama laki laki.”  Begitu isi pesan Riana.
“Haah...Siapa?”
“Alan!”
            “Alan?”
“Iya, Dira...aku mohon, jangan cemburu yah.” 
“Coba kirim screen shootnya Na.”  Pintaku pada Riana.  Tak lama pesan Riana sampai, berisi hasil tangkapan layar pesannya Alan kepada Riana.  Alangkah terkejutnya aku melihat isi pesan itu.  Sebuah pesan yang sangat romantis dan di akhir pesan itu, Alan menyatakan cintanya pada Riana.  Air mata berjatuhan dan tak bisa terelakkan lagi.  Deras membasahi pipiku.  Aku marah.  Bukan pada Alan, tapi pada diriku.  Aku telah berdosa.  Aku tersadar, inilah cara Allah mengingatkanku dari kesalahan fatal.  Aku tidak menghiraukan larangan Ummi.  Aku telah berbohong pada Ummi.  Allah sangat sayang kepadaku.  Aku berucap istighfar berkali-kali.  Aku khilaf ya Allah.
 “Aku bertobat yaa Allah!”  Jeritku dalam hati.  Tak lama adzan Ashar berkumandang.  Segera kuambil wudhu kemudian larut dalam sujud yang khusyu.  Selesai sholat aku hampiri Ummi di kamarnya.  Aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan ummi yang masih bermukena.  Aku meminta maaf kepada Ummi.  Ummi bingung dengan tingkahku.  Aku mengakui semuanya.  Aku telah membohongi Ummi.  Ummi mengangkat wajahku.  Kulihat wajahnya yang teduh.  Ummi tersenyum dan memaafkanku.  Ummi sama sekali tidakmarah.  Ummi senang karena aku telah berani mengakui kesalahan.  Ummi berpesan untuk tidak mengulangi kesalahan itu.  Aku berjanji bahwa aku tidak akan mengulanginya.  Ini adalah kekhilafanku yang terakhir.  Aku tidak boleh membuat ummi kecewa lagi.  Aku akan fokus belajar.  Aku akan membuat ummi dan abi bangga kepadaku.

****

Comments

Popular Posts